Sabtu, 03 Desember 2011

Pengertian Pendidikan Agama Islam menurut berbagai pakar

a. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba : Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian yang memiliki nalai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. b. Menurut Abdul Rahman Nahlawi; اَلتربيّةُ الإسْلاَ مِيَّةُ هِيَ ا لتَّنْظيمُ المُنْفَسِيُّ والإجتماعيُّ الَّذيْ يُؤْديْ إلى اعْتنَاق الإسْلاَم وتَطْبيْقَة كلّيّا فى حَياة الْفرْدِ وَالْجمَاعَةِ Artinya; “Pendidikan Islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanya dapatlah memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan kolektif”. c. Menurut Drs. Burlian Shomad : Pendidikan Agama Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci Beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut Pendidikan Agama Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu : 1). Tujuannya untuk membentuk individu menjadi bercocok diri tertinggi menurut ukuran Al-Qur`an. 2). Isi pendidikannya ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap dalam Al-Qur`an dan pelaksanaannya di dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagaimana di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW. d. Menurut Mustofa Al-Ghulayani : Bahwa Pendidikan Agama Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga ahklak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air. e. Menurut Syah Muhammad A. Naquib Al-Atas : Pendidikan Agama Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. f. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung : Pendidikan Agama Islam ialah Pendidikan yang memiliki 4 macam fungsi, yaitu : 1). Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri 2). Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda. 3). Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup (surviral) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat terpelihara dengan baik yang akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat itu sendiri. g. Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan 11mei 1960 di Cipayung Bogor menyatakan : “Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.” h. Menurut M. Yusuf al-Qardhawi : Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan agama islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. i. Menurut Endang Saifuddin Anshari : Pendidikan Agama Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh obyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, dan sebagainya ), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu, dan dengan alat perlengkapan yang ada kearah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran agama Islam. j. Menurut Zakiah Darajat : Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan mela lui ajaran-ajaran agama islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli didik Islam berbeda pendapat mengenai rumusan Pendidikan Agama Islam. Ada yang menitik beratkan pada segi pembentukan akhlak anak, ada pula yang menuntut pendidikan teori pada praktek, sebagian lagi menghendaki terwujudnya kepribadian muslim dan lain-lain. Namun dari perbedaan pedapat tersebut dapat di ambil kesimpulan, bahwa adanya titik persamaan yang secara ringkas dapat di kemukakan sebagai berikut: pendidikan agama Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim yang sejati. Jika direnungkan Syariat Islam tidak akan di hayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus didirikan melalui proses pendidikan.. Nabi telah mengajak orang untuk beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak di tunjukan ke pada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya Pendidikan Agama Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Agama Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu Pendidikan Agama Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat. Menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka orang pertama yang bertugas mendidik masyarakat adalah para Nabi dan Rasul, selanjutnya para ulama dan para cendikiawan sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka.

Pendidikan Agama Islam > Pengertian, Tujuan, Ruang Lingkup

Pengertian pendidikan itu bermacam-macam, hal ini disebabkan karena perbedaan falsafah hidup yang dianut dan sudut pandang yang memberikan rumusan tentang pendidikan itu.

Menurut Sahertian (2000 : 1) mengatakan bahwa pendidikan adalah "usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan."


Sedangkan Ihsan mengatakan bahwa pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya (Ihsan, 1996 : 1)

Sedangkan Pendidikan Agama Islam berarti "usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam". (Zuhairani, 1983 : 27)

Syariat islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan nabi sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan dari satu segi kita lihat bahwa pendidikan islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan islam tidak bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena itu, pendidikan islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal dan juga karena ajaran islam berisi tentang ajaran sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Semula yang bertugas mendidik adalah para Nabi dan Rasul selanjutnya para ulama, dan cerdik pandailah sebagai penerus tugas, dan kewajiban mereka (Drajat, 1992 : 25-28).

Pendidikan agama dapat didefenisikan sebagai upaya untuk mengaktualkan sifat-sifat kesempurnaan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada manusia, upaya tersebut dilaksanakan tanpa pamrih apapun kecuali untuk semata-mata beribadah kepada Allah (Bawani, 1993 : 65).

Ahli lain juga menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah sebagai proses penyampaian informasi dalam rangka pembentukan insan yang beriman dan bertakwa agar manusia menyadari kedudukannya, tugas dan fungsinya di dunia dengan selalu memelihara hubungannya dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekitarnya serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya) (Ali, 1995 : 139)

Para ahli pendidikan islam telah mencoba memformutasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah :
  1. Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan agama islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
  2. Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurnah, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.
  3. Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil)
  4. Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45)

Dari batasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat islam selama hidup di dunia.

Adapun pengertian lain pendidikan agama islam secara alamiah adalah manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat, pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian adalah berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnatullah”

Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmani juga harus berlangsung secara bertahap oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar atau kegiatan yang disengaja dilakukan untuk membimbing sekaligus mengarahkan anak didik menuju terbentuknya pribadi yang utama (insan kamil) berdasarkan nilai-nilai etika islam dengan tetap memelihara hubungan baik terhadap Allah Swt (HablumminAllah) sesama manusia (hablumminannas), dirinya sendiri dan alam sekitarnya.

b)    Tujuan Pendidikan Agama Islam

Sebelum peneliti mengemukakan tujuan Pendidikan Agama tersebut terlebih dahulu akan mengemukakan tujuan pendidikan secara umum. Tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan itu. Demikian pula halnya dengan Pendidikan Agama Islam, yang tercakup mata pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.

Tujuan pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan kualifikasi, pengetahuan, kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik setelah selesai suatu pelajaran di sekolah, karena tujuan berfungsi mengarahkan, mengontrol dan memudahkan evaluasi suatu aktivitas sebab tujuan pendidikan itu adalah identik dengan tujuan hidup manusia.
Dari uraian di atas tujuan Pendidikan Agama peneliti sesuaikan dengan tujuan Pendidikan Agama di lembaga-lembaga pendidikan formal dan peneliti membagi tujuan Pendidikan Agama itu menjadi dua bagian dengan uraian sebagai berikut :

1)    Tujuan Umum
Tujuan umum Pendidikan Agama Islam adalah untuk mencapai kwalitas yang disebutkan oleh al-Qur'an dan hadits sedangkan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang dasar No. 20 Tahun 2003

Dari tujuan umum pendidikan di atas berarti Pendidikan Agama bertugas untuk membimbing dan mengarahkan anak didik supaya menjadi muslim yang beriman teguh sebagai refleksi dari keimanan yang telah dibina oleh penanaman pengetahuan agama yang harus dicerminkan dengan akhlak yang mulia sebagai sasaran akhir dari Pendidikan Agama itu.

Menurut Abdul Fattah Jalal tujuan umum pendidikan  Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hambah Allah, ia mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat at-Takwir ayat 27. Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah atau dengan kata lain beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah adalah beribadah kepada Allah, ini diketahui dari surat al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi :

Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S al-Dzariyat, 56)

2)    Tujuan Khusus
Tujuan khusus Pendidikan Agama adalah tujuan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang dilaluinya, sehingga setiap tujuan Pendidikan Agama pada setiap jenjang sekolah mempunyai tujuan yang berbeda-beda, seperti tujuan Pendidikan Agama di sekolah dasar berbeda dengan tujuan Pendidikan Agama di SMP, SMA dan berbeda pula dengan tujuan Pendidikan Agama di perguruan tinggi.

Tujuan khusus pendidikan seperti di SLTP adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca al-Qur’an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan wakaf. Membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjawukan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah serta memahami dan meneladani tata cara mandi wajib dan shalat-shalat wajib maupun shalat sunat (Riyanto, 2006 : 160).

Sedangkan tujuan lain untuk menjadikan anak didik agar menjadi pemeluk agama yang aktif dan menjadi masyarakat atau warga negara yang baik dimana keduanya itu terpadu untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan merupakan suatu hakekat, sehingga setiap pemeluk agama yang aktif secara otomatis akan menjadi warga negara yang baik, terciptalah warga negara yang pancasilis dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
1.2     Ruang Lingkup Ajaran Islam
Ruang lingkup ajaran islam meliputi tiga bidang yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak
a.    Aqidah
Aqidah arti bahasanya ikatan atau sangkutan. Bentuk jamaknya ialah aqa’id. Arti aqidah menurut istilah ialah keyakinan hidup atau lebih khas lagi iman. Sesuai dengan maknanya ini yang disebut aqidah ialah bidang keimanan dalam islam dengan meliputi semua hal yang harus diyakini oleh seorang muslim/mukmin. Terutama sekali yang termasuk bidang aqidah ialah rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari Akhir dan kepada qada’dan qadar.
b.    Syari’ah
Syari’ah arti bahasanya jalan, sedang arti istilahnya ialah peraturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan tiga pihak Tuhan, sesama manusia dan alam seluruhnya, peraturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan disebut ibadah, dan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam seluruhnya disebut Muamalah. Rukun Islam yang lima yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji termasuk ibadah, yaitu ibadah dalam artinya yang khusus yang materi dan tata caranya telah ditentukan secara parmanen dan rinci dalam al-Qur’an dan sunnah Rasululah Saw.
Selanjutnya muamalah dapat dirinci lagi, sehingga terdiri dari 
  • Munakahat (perkawinan), termasuk di dalamnya soal harta waris (faraidh) dan wasiat
  • Tijarah (hukum niaga) termasuk di dalamnya soal sewa-menyewa, utang-piutang, wakaf.
  • Hudud dan jinayat keduanya merupakan hukum pidana islam
Hudud ialah hukum bagi tindak kejahatan zina, tuduhan zina, merampok, mencuri dan minum-minuman keras. Sedangkan jinayat adalah hukum bagi tindakan kejahatan pembunuhan, melukai orang, memotong anggota, dan menghilangkan manfaat badan, dalam tinayat berlaku qishas yaitu “hukum balas”
  •  Khilafat (pemerintahan/politik islam)
  • Jihad (perang), termasuk juga soal ghanimah (harta rampasan perang) dan tawanan).
  • Akhlak/etika
Akhlak adalah berasal dari bahasa Arab jamat dari “khuluq” yang artinya perangai atau tabiat. Sesuai dengan arti bahasa ini, maka akhlak adalah bagian ajaran islam yang mengatur tingkahlaku perangai manusia. Ibnu Maskawaih mendefenisikan akhlak dengan “keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran”.

Akhlak ini meliputi akhlak manusia kepada tuhan, kepada nabi/rasul, kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga, kepada sesama muslim, kepada non muslim.

Dalam Islam selain akhlak dikenal juga istilah etika. Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat (Amin, 1975 : 3)

Jadi, etika adalah perbuatan baik yang timbul dari orang yang melakukannya  dengan sengaja dan berdasarkan kesadarannya sendiri serta dalam melakukan perbuatan itu dia tau bahwa itu termasuk perbuatan baik atau buruk.

Etika harus dibiasakan sejak dini, seperti anak kecil ketika makan dan minum dibiasakan bagaimana etika makan atau etika minum, pembiasaan etika makan dan minum sejak kecil akan berdampak setelah dewasa. Sama halnya dengan etika berpakaian, anak perempuan dibiasakan menggunakan berpakaian berciri  khas perempuan seperti jilbab sedangkan laki-laki memakai kopya dan sebagainya. Islam sangat memperhatikan etika berpakai sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Ahsab di atas.

1.3    Pentingnya Pendidikan Agama Bagi Kehidupan

Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama dan sangat dibutuhkanya agama oleh manusia. Tidak saja di massa premitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan teknologi telah demikian maju.

Berikut ini sebagian dari bukti-bukti mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia.
a.    Agama merupakan sumber moral
Manusia sangatlah memerlukan akhlaq atau moral, karena moral sangatlah penting dalam kehidupan. Moral adalah mustika hidup yang membedakan manusia dari hewan. Manusia tanpa moral pada hakekatnya adalah binatang dan manusia yang membinatang ini sangatlah berbahaya, ia akan lebih jahat dan lebih buas dari pada binatang buas sendiri.

Tanpa moral kehidupan akan kacau balau, tidak saja kehidupan perseorangan tetapi juga kehidupan masyarakat dan negara, sebab soal baik buruk atau halal haram tidak lagi dipedulikan orang. Dan kalau halal haram tidak lagi dihiraukan. Ini namanya sudah maehiavellisme. Machiavellisme adalah doktrin machiavelli “tujuan menghalalkan cara kalau betul ini yang terjadi, biasa saja  kemudian bangsa dan negara hancur binasa.

Ahmad Syauqi, 1868 – 1932 seorang penyair Arab mengatakan “bahwa keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak, jika akhlak telah lenyap, akan lenyap pulalah bangsa itu”.

Dalam kehidupan seringkali moral melebihi peranan ilmu, sebab ilmu adakalanya merugikan. “kemajuan ilmu dan teknologi mendorong manusia kepada kebiadapan”

Demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Alexis Carrel seorang sarjana Amerika penerima hadiah nobel 1948 “moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena agama adalah sumber moral paling teguh. Nabi Muhammad Saw di utus tidak lain juga untuk membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

W.M. Dixo dalam “The Human Situation” menulis “ Agama betul atau salah dengan ajarannya percaya kepada Tuhan dan kehidupan akherat yang akan datang, adalah dalam keseluruhannya kalau tidak satu-satunya peling sedikit kita boleh percaya, merupakan dasar yang paling kecil bagi moral”.

Dari tulisan W.M. Dixon di atas ini dapat diketahui bahwa agama merupakan sumber dan dasar (paling kuat) bagi moral, karena agama menganjurkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan akherat. Pendapat Dixon ini memang betul. Kalau orang betul beriman bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan yang ada itu maha mengetahui kepada tiap orang sesuai dengan amal yang dikerjakannya, maka keimanan seperti ini merupakan sumber yang tidak kering-keringnya bagi moral. Itulah sebabnya ditegaskan oleh Rasulullah Saw.  Yang artinya : ”Orang mukmin yang paling sempurna imanya ialah orang mukmin yang paling baik akhlaqnya” (Riwayat Tirmizi)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya agama dalam kehidupan disebabkan oleh sangat diperlukannya moral oleh manusia, karena agama bersumber dari agama. Dan agama menjadi sumber moral, karena agama menganjurkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akherat, dan selain itu karena adanya perintah dan larangan dalam agama.

b.    Agama merupakan petunjuk kebenaran
Salah satu hal yang ingin diketahui oleh manusia ialah apa yang bernama kebenaran. Masalah ini masalah besar, dan menjadi tanda tanya besar bagi manusia sejak zaman dahulu kala. Apa kebenaran itu, dan dimana dapat diperoleh manusia dengan akal, dengan ilmu dan dengan filsafatnya ingin mengetahui dan mencapainya dan yang menjadi tujuan ilmu dan filsafat tidak lain juga untuk mencari jawaban atas tanda tanya besar itu, yaitu masalah kebenaran.

Tetapi dapat disayangkan, sebagaimana telah disebutkan dalam uraian terdahulu, sebegitu jauh usaha ilmu dan filsafat untuk mencapai kemampuan ilmu dan filsafat hanyalah sampai kepada kebenaran relatif atau nisbi, padahal kebenaran relatif atau nisbi bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang sesungguhnya ialah kebenaran mutlak dan universal, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh benar, absolut dan berlaku untuk semua orang.

Tampakya sampai kapanpun masalah kebenaran akan tetap merupakan misteri bagi manusia, kalau saja manusia hanya mengandalkan alat yang bernama akal, atau ilmu atau juga filsafat (Demoikritas, 2004 : 360-460)

Kebenaran itu dalam sekali letaknya tidak terjangkau semuanya oleh manusia. Penganut-penganut sufisme, yaitu aliran baru dalam filsafat Yunani yang timbul pada pertengahan abad ke-5 menegaskan pula”. Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai oleh manusia.

Kemudian Bertrand Rossel seorang Failosuf Inggris termasyur juga berkata “apa yang tidak sanggup dikerjakan oleh ahli ilmu pengetahuan, ialah menentukan kebajikan (haq dan bathil). Segala sesuatu yang berkenaan dengan nilai-nilai adalah di luar bidang ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya “Sesungguhnya telah kami turunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran agar kamu memberi kepastian hukum di antara manusia dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu” (an-Nisa’, 105)

c.    Agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika
Prof Arnoid Toynbee memperkuat pernyataan yang demikian ini. Menurut ahli sejarah Inggris kenamaan ini tabir rahasia alam semesta juga ingin di singkap oleh manusia. Dalam bukunya “An Historian’s Aproach to religion” dia menulis, “ Tidak ada satu jiwapun akan melalui hidup ini tanpa mendapat tantantangan-rangsangan untuk memikirkan rahasia alam semesta”.

Ibnu Kholdum dalam kitab Muqaddimah-nya menulis “akal ada sebuah timbangan yang tepat, yang catatannya pasti dan bisa dipercaya. Tetapi mempergunakan akal untuk menimbang hakekat dari soal-soal yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, atau hidup sesudah mati, atau sifat-sifat Tuhan atau soal-soal lain yang luar lingkungan akal, adalah sebagai mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung, ini tidak berarti bahwa timbangannya itu sendiri yang kurang tepat. Soalnya ialah karena akal mempunyai batas-batas yang membatasinya.
Berhubungan dengan itu persoalan yang menyangkut metafisika masih gelap bagi manusia dan belum mendapat penyelesaian semua tanda tanya tentang itu tidak terjawab oleh akal.

d.    Agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia, baik dikala suka maupun di kala duka
Hidup manusia di dunia yang pana ini kadang-kadang suka tapi kadang-kadang juga duka. Maklumlah dunia bukanlah surga, tetapi juga bukan neraka. Jika dunia itu surga, tentulah hanya kegembiraan yang ada, dan jika dunia itu neraka tentulah hanya penderitaan yang terjadi. Kenyataan yang menunjukan bahwa kehidupan dunia adalah rangkaian dari suka dan duka yang silih berganti.

Firman Allah Swt yang artinya : “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan engkau kami coba dengan yang buruk dan dengan yang baik sebagai ujian” (al-Ambiya, 35).

Dalam masyarakat dapat dilihat seringkali orang salah mengambil sikap menghadapi cobaan suka dan duka ini. Misalnya dikala suka, orang mabuk kepayang da lupa daratan. Bermacam karunia Tuhan yang ada padanya tidak mengantarkan dia kepada kebaikan tetapi malah membuat manusia jahat. (Shaleh, 2005: 45)

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa sikap yang salah juga sering dilakukan orang sewaktu di rundung duka. Misalnya orang hanyut dalam himpitan kesedihan yang berkepanjangan. Dari sikap yang keliru seperti itu dapat timbul gangguan kejiwaan seperti lesu, murung, malas, kurang gairah hidup, putus asa dan merasa tidak berguna bagi orang lain. Pendidikan Agama Islam

IMPLIKASI PENDIDIKAN AGAMA DALAM PERKEMBANGAN RASA AGAMA PADA USIA ANAK DAN REMAJA



Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia. Namun terkadang ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehinga para ahli psiklogi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran, kehendak dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelegensi,  kelelahan ataupun sugesti.[1]
Religiositas berkembang sejak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia.[2] Dalam proses perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiositas yang akan terekspresikan pada perilaku kehidupam sehari-hari. Proses perkembangan religiositas melewati tiga fase utama, yakni fase anak, remaja dan dewasa. Masing-masing fase perkembangan memiliki kekhasan dalam sifat serta perannya terhadap keseluruhan perkembangan religiositas.
Dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana religiusitas pada tahap anak-anak hingga remaja.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Pendidikan Agama
Dari sudut padang manusia, pendidikan ialah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durhaim dalam karyanya education and sociology (1956) berpendapat bahwa pendidikan merupakan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.[3] Banyak para filsafat pendidikan mengartikan “pendidikan” antara lain:
1.      Driyar Karya
Mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.
2.      Crow and crow
Menyebut pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dan generasi ke generasi.
3.      Ki Hajar Dewantara
Dalam kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930, menyebutkan pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak boleh pisah-pisahkan bagian-bagian itu agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
4.      John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.

5.      Herman H. Horne
Pendidikan dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia sebagai timbal balik dengan alam sekitar dengan sesama manusia, dan dengan tabiat dan kosmos.[4]
Ada beberapa pendapat mengenai makna “Agama” antara lain:
1.      Prof KHM. Taib Thahir Abdul Mu’in,
Agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peratutan Tuhan dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan diakhirat.[5]
2.      Emile Durkheim
Mengartikan agama sebagai suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniruan terhadap modus-modus, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktik-praktik yang secara sosial telah mantap selama ke generasi-generasi.[6]
3.      J.G. Frazer
Berpendapat bahwa agama adalah suatau ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan alam dan kehidupan umat manusia. Menurut dia agama itu terdiri dua element yakni, bersifat teorstis dan yang praktis. Contoh yang bersifat teoristis berupa kepercayaan kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia sedangkan yang bersifat praktis ialah usaha manusia untuk tunduk kepada kekuatan-kekuatan tersebut serta usaha mengembirakannya.[7]

B.     Perkembangan Rasa Agama Usia Anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development Of Religion On Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak  itu melalui tiga tingktan, yaitu;

1.      The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimuali pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa kini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dapat menggapai agama pun anak masih mengggunakan konsep fantastik yang diliputi oleh dongeng-dongeng.
2.      The Realistic Stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini sejak anak masuk Sekolah Dasar (SD) hingga ke usia adolensen. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam ligkungan mereka. Segala bentuk tindakan (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3.      The Individual Stage (tingkat individu)
Pada tingkat ini anak mempunyai kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka, konsep keagamaan yang individualis ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu;
Ä     Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal terserbut disebabkan oleh pengaruh luar.
Ä     Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (peroranngan).
Ä     Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor interen, yaitu perkembangan usia dan faktor eksteren berupa pengaruh luar yang dialaminya.[8]
Religiositas anak adalah hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dari lahir sampai menjelang remaja. Dalam proses tersebut berbagai faktor, interen, eksteren ikut berperan. Empat diantarannya yang akan dipaparkan dalam makalah ini, yaitu perkembangan kognisi, peran hubungan orang tua dengan anak, peran Conscience, Guilt, Shame, serta Interaksi sosial.
Ä     Peran kognisi dalam perkembangan religiositas anak
      Konsep tentang nila-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiositas masuk ke dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi difahami sebagai kemampuan mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar diri individu. Perkembangan kognisi melewati beberapa fase yang masing-masing memiliki ciri yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman yang masuk pada diri individu akan hanya terserap sesuai dengan tingkat kemampuan kognisinya. Demikian juga pengetahuan dan pengalaman keagamanannya.
      Pada usia anak menurut Piaget perkembangan kognisi mengalami empat dari lima fase perkembangan berikiut ini yaitu:
1.      Period of sensorimotor adaptation, birth- 2 tahun
2.      Development of simbiolic and preconceptual thought, 2-4 tahun
3.      Period of intuitive thougth, 4-7 tahun
4.       Period of concreate operations, 7-12 tahun
5.      Period of formal operation, 12- thought adulescence.[9]
Ä     Peran hubungan orang tua dengan anak dalam perkembangan religiositas anak
      Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak.[10] Melalui hubungan dengan orang tua anak menyerap konsep-konsep keimanan (belief & faith), ibadah (ritual), maupun mu’amalah (ethic & moral). Ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak melalui proses hubungan orang tua dan anak, yaitu cara orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, serta kualitas dari religiositas orang tua.
Ä     Paran Conscience, Guilt dan Shame dalam perkembangan religiositas anak
      Conscience, Guilt dan Shame adalah tiga keadaan kejiwaan yang berkembang secara berurutan. Conscience adalah kemampuan yang muncul dari jiwa yang terdalam untuk mengerti tentang be nar dan salah, baik dan buruk. Dalam istilah lain dapat disamakan dengan istilah inner light, superhero, atau internalized policeman, yang berperan untuk mengontrol perilaku dari dalam diri. Guilt adalah perasaan bersalah yang muncul bila dirinya tidak berperilaku sesuai dengan kata hatinya, rasa bersalah juga dapat disebut evaluasi diri secara negative yang muncul ketika seseorang memahami bahwa perilakunya tidak sesuai dengan standard nilai yang dia rasa harus ditaati. Beriringan dengan itu kemudian muncul  Shame, yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap perkiraan penilaian dari orang lain pada dirinya.
Ä     Peran interaksi sosial dalam perkembangan religiositas anak
      Interaksi sosial adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, yaitu dengan kelompok kawan sepermainan dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui dua hal sebagai berikut: pertama, malalui interaksi sosial anak akan mengetahuai apakah perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standar nilai religiositas dalam keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Kedua, interaksi sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya.[11]
           
C.     Perkembangan Rasa Agama Usia Remaja
Dalam  pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki masa Progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenitilas (adolescantium), pubertas, dan  nubilitas.[12]
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembnagan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah:
a)Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
b)      Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati berkehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasan super, remaja lebih terperosok ke arah tindakan seksual yang negative.

c)Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mareka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d)      Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteks. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja juga mencakupi:
1.   Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2.   Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.   Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4.   Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5.   Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan masyarakat.   
e)Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Howard Bell dan Ross, berdasarkan penelitiannya taerhadap 13.000 remaja di Marlyand mengungkapkan sebagai berikut:
1.      Remaja yang taat beribadah ke gereja secara terartur 45%
2.      Remaja yang tidak pernah kegereja 35%
3.      Minat terhadap: ekonomi, keuangan, materi dan sukses pribadi 73%
4.      Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%.
f)     Ibadah
1.) Pandangan remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan:
a.) 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan, sedangkan sisanya 128 mempunyai pengalaman keagamaan, yang 60 diantaranya secara alami (tidak melalui ajaran resmi).
b.) 31% di antara yang punya pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.
2.) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah di ungkapkan sebagai berikut:
a.) 42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali.
b.) 33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.
c.) 27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita.
d.) 18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya.
e.) 11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
f.) 4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting.
Jadi, hanya 17% mengatakan bahwa sembahayang berrmanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi. [13]
    
 
  







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Religiositas pada tahap anak dan remaja sangat berbeda, proses perkembnagan religiositas pada tahap anak meliputi beberapa faktor yaitu The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng), The Realistikc Stage (tingkat kenyataan) dan The Individual Stage (tngkat individu). Sedangkan pada tahap remaja juga diliputi beberapa faktor, yang mana faktor ditahap anak berbeda pada tahap remaja, faktor-faktor yang meliputi perkembangan religiositas pada tahap remaja yaitu; Pertumbuhan pikiran dan mental, Perkembangan perasaan Pertimbangan sosial, Perkembangan moral, Sikap dan minat serta Ibadah.
Dalam keseluruhan perkembangan religiositas, perkembangan pada usia anak mempunyai peran yang sangat penting karena dalam perkembangan tersebut keseluruhan dasar-dasar religiositas mulai terbentuk. Akan tetapi perhatian dan kesangguan pihak orang dewasa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang timbul berkaitan dengan perkembangan religiositas usia anak dirasa kurang dibandingkan dengan perhatian dan kesanggupannya terhadap perkembangan religiositas usia remaja dan dewasa.

Pendidikan Remaja dari Sudut Pandang Psikologi Islami


Tulisan ini insya Allah bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik dengan pendidikan anak dan remaja. Beberapa konsep di dalamnya insya Allah original dan inspiratif. Tolong di-share seluas-luasnya, demi keselamatan perkembangan anak-anak dan adik-adik kita. Karena sebagian bagan tidak bisa masuk di sini, silahkan buka attachment untuk melihat versi lengkapnya.

Pendidikan Remaja dari Sudut Pandang Psikologi Islami


      Bila kita berbicara tentang pendidikan remaja menurut sudut pandang Psikologi Islam, kita harus bertanya terlebih dahulu seperti apa seharusnya Psikologi Islam memandang remaja dan manusia secara umum? Apakah Psikologi Islam seharusnya melihat manusia lebih sebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya pada perubahan-perubahan sosial? Atau ia seharusnya lebih melihat manusia dari aspek fitrah insaniah yang dengannya ia diciptakan? Apakah fase-fase perkembangan manusia, termasuk fase remaja, harus sepenuhnya tunduk pada kehendak kultural masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu? Ataukah ia seharusnya lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat natural dalam tahap-tahap pertumbuhannya?
      Adalah benar jika dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk budaya dan tak mungkin dipisahkan dari perkembangan budayanya. Kendati demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya kesehatan psikologis manusia itu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk mempelajari hal-hal yang fitrah ini untuk kemudian mengawalnya dalam fase-fase pertumbuhan manusia.
      Al-Qur’an mengingatkan, “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[1] Perubahan yang serius pada fitrah manusia tentu akan menimbulkan problem-problem serius juga di tingkat psikologis dan sosial. Tulisan berikut ini akan berusaha untuk membedah persoalan dan pendidikan remaja dari sudut pandang ini.

Remaja Modern dan Akar Permasalahannya
      Menggagas pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer, sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?

Remaja Modern dan Akar Permasalahannya



Menggagas pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer, sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?
Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.[2] Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.[3]
Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topan badai,’[4] sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.
Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.
Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim.[5] Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi.[6]
Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karena melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melakukan itu semua bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata.[7] Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbeda dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.
Contoh-contoh statistik serta kasus di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran 1), tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektronik yang banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno, begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4 hingga 6 SD sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang seks, seperti ”Apakah sex swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”[8] Sementara, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan keindahan tubuhnya sendiri.[9]
Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika.[10] Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target konsumen anak-anak SD.[11]
Di beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentanan psikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnya persoalan remaja di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan kematian lebih dari sepuluh anak di sekolah Columbine.[12] Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri.[13] Survey American Academy of Pediatrics belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya paling tidak satu kali.[14] Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh diri.[15]
Di Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di tanah air.[16] Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagian berhasil diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upaya bunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan tak masuk akal, seperti ”rebutan mie instan dengan adik,” ”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan buku gambar,” atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini.
Remaja modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi dengan mereka[17] dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan seks bebas.
Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin bingung bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa.[18] Akibatnya, kelompok usia remaja menjadi semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi.
Bagaimanakah fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai problematika psikologis dan sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukah ini hanya menjadi ciri khas dari remaja-remaja modern? Kita akan mencoba mengurai persoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagi anak-anak remaja.
Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangat signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka lewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua.[19]
Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan yang bersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan “apa tujuan hidup saya?”[20] menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa “Remaja agaknya merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri.”[21] Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung, “bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya.” Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”[22]
Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafat moral,” sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi.[23] Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion)[24] saat mencari model peran yang akan diikuti.
Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah.[25] Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai persoalan serius sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal dari tulisan ini.
Situasi ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para pengusaha bisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian jati diri remaja dilihat oleh mereka sebagai ”permintaan” (demand) dan peluang bisnis. Mereka pun kemudian memberikan ”penawaran” (supply) berupa artis dan selebritis yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka yang menarik, tapi juga karena para selebritis itu menampilkan model-model identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti.[26] Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malah semakin melipatgandakannya.
Semua ini berputar dalam suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasi oleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaum remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan sebagai dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi krisis (Lihat bagan 1).
Sejauh ini, data-data memperlihatkan bahwa masa usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan peralihan antara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami. Oleh karenanya, dalam rangka merumuskan solusi tadi, Psikologi Islam perlu mengevaluasi kembali posisi remaja sebagai suatu kelompok usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang seharusnya ada pada diri manusia di setiap fase usianya.
Kajian yang kritis atas fase usia remaja memperlihatkan bahwa kelompok usia ini berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural. Artinya, pola pertumbuhan manusia yang alamiah sebenarnya tidak membuka peluang bagi terbentuknya kelompok usia remaja seperti yang kita pahami sekarang. Adanya fase usia remaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.
Bekenaan dengan ini Tanner mengajukan pertanyaan, ”Apakah ketegangan dan kecemasan pada masa akil baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat?” Ia kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya tampaknya adalah bahwa ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudah maju, sebab jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan jadwal waktu pertumbuhan alamiah manusia.”[27] Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa remaja terjadi karena masyarakat pada negara yang sudah maju telah mengubah jadwal waktu pertumbuhan manusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yang dimiliki remaja tadi. Dengan kata lain, sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatu produk kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia.
Secara alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atau tak lama setelah baligh, tapi masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda mengenai kapan seharusnya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakan pemunduran jadwal kedewasaan anak sedemikian rupa – karena mereka harus melewati masa pendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor lainnya – sementara pada saat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Jadi, bukannya menyesuaikan diri dengan jadwal alamiah, masyarakat modern memilih untuk memaksakan jadwal baru yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolak pada remaja modern sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nantinya.
Tanner melanjutkan penjelasannya, ”Pada masyarakat primitif, tahun-tahun masa kanak-kanak memberikan segala waktu belajar yang diperlukan orang agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapai hampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga tahun saja.”[28] Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti yang kita pahami sekarang sama sekali tidak ada.[29]
Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal senada. Konsep remaja tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau mengatakan,
“Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak abad ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih sebagai pengganti keluarga-keluarga besar ….”[30]
Jadi, perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakan realitas kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompok usia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian melahirkan konsep tentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya juga ikut menyebabkan munculnya berbagai persoalan serta krisis berkepanjangan pada anak usia belasan tahun. Seperti yang dikatakan Ahmad Faqih, kemajuan sains modern telah memberikan kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi.[31]
Pada masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan kebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama setelah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah dipersiapkan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan, masyarakat-masyarakat primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk ’melantik’ anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, anak-anak itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas, setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masa puber. Yang terpenting dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidak mengalami gejolak serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern.
Ada beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian antropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan bahwa “anak laki-laki menjadi pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa tanpa mengalami kecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan.”[32] Orang-orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga mempunyai upacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi orang dewasa.[33] Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di sinagog-sinagog untuk mengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang dewasa.[34]
Tidak terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas adalah disebabkan oleh adanya pemberian status sosial yang jelas di usia dini – di masa-masa awal pubertas mereka – di samping adanya persiapan psikologis anak pada masa-masa sebelumnya. Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa remaja yang mendapat status sosial yang jelas di usia dini biasanya tidak mengalami gejolak yang menonjol. ”Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang,” tulisnya.[35]
Berdasarkan semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelabilan serta gejolak masa remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern yang merupakan dampak dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi karena masyarakat serta kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar dari jadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber (sekitar umur 12 tahun), anak mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini, remaja memiliki kemampuan biologis yang sama dengan orang-orang dewasa lainnya; ia dapat menikah dan mempunyai anak.
Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat Bagan 2[36]). Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.
Aspek-Aspek Pendidikan Remaja
Berbagai persoalan remaja yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang natural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi, bukan demi kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri.
Perlu disadari bahwa tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan fithrahnya.[37] Terkait dengan pendidikan, Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna.[38] Para ahli pendidikan Muslim juga mempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya.[39] Sementara Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisa mendekatkannya kepada Allah dan bisa membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[40]
Upaya pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.”[41]
Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja.[42]
Kedewasaan sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan sejajar dengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya secara sederajat dan dewasa. Dengan kata lain, anak remaja seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dan dilibatkan dalam komunitas serta aktivitas positif[43] orang-orang dewasa. Sekiranya orang tua menyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa, bahkan sebelum anak-anak itu menginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu akan memiliki karakter dewasa yang sehat ketika ia memasuki masa remaja. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan pada fase usia remaja. Hal demikian terjadi karena ia telah mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini.
Adapun kedewasaan psikologis idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab.[44] Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.[45]
1. Identitas diri.
Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya, karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri.
Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.
Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu identitas pada saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama.
Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.
2. Tujuan dan Visi dalam Hidup
Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya.
Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-remaja modern.
Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita tadi – tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang jelas.
3.  Pertimbangan dalam Memilih
Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.
Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik boleh atau tidaknya suatu pilihan.
Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.
4. Tanggung Jawab
Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu, sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung jawab parsial.
Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung jawab (lihat Bagan 3).
Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini.
Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.